KASUS perkawinan anak mulai menurun di Desa Jenggik Utara, Kecamatan Montong Gading Kabupaten Lombok Timur. Semua itu tidak lepas dari kontribusi dua wanita berhijab. Minha, 18 tahun dan ibunya, Zuhri. Sekarang nyaris jarang terdengar ada kasus perkawinan anak di desa itu.
MINHA tercatat sebagai mahasiswi pada Universitas Hamzanwadi, Lombok Timur. Dia merupakan mahasiswi Fakultas Bimbingan dan Konseling. Minha sejak kecil sudah hidup berdua dengan ibunya, Zuhri. Keduanya tinggal di kampung anak yang banyak ditinggal orangtuannya menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI) atau TKI. Suasana tempat tinggal yang sunyi ini, ternyata tidak luput dari berbagai persoalan. Terutama soal perekonomi. Ini penyebab orangtua meninggalkan anak mereka untuk menjadi buruh migran ke Malaysia dan Saudi Arabia.
Desa perbatasan Lombok Timur dengan Lombok Tengah ini sejak lama dikenal sebagai desa dengan anak terbanyak ditinggal orangtua menjadi PMI. Di balik itu semua, beragam persoalan muncul. Kasus perkawinan dan penelantaran anak.
“Hasil penelitian kami tahun 2021 ada satu dusun dengan 14 kasus perkawinan anak, ini angka tertinggi,” ungkap Minha, 27 Agustus 2022 di kediamannya.
Disampaikan Minha, usia anak-anak yang menikah ini 14 tahun, 15 dan 16 tahun. Setelah dicari tahu penyebab terjadinya perkawinan anak karena faktor media social salah satunya. Minimnya pengawasan orangtua membuat anak-anak ini mengambil jalan pintas dengan menikah. Belum lagi ditambah tahun 2021 pandemi covid-19 lagi memuncak, belajar mengajar via online ikut disalahgunakan oleh mereka.
“Jadi banyak sekali yang menikah di bawah umur, itu termasuk teman-teman bermain saya,” tuturnya.
Berangkat dari kasus di depan mata, Minha mencoba mengikuti jejak ibunya sebagai aktivis pelindung hak anak. Dia pun mulai bergerak melakukan edukasi kepada sesama anak. Tapi dikatakannya itu bukan perkara yang mudah ternyata. Belum lagi ditambah kuatnya dorongan para orangtua memberikan izin anak mereka menikah usia masih status anak. Pahit manis pun dia rasakan langsung, sampai pernah ingin memutuskan berhenti melakukan itu semua.
“Kalau teman seusia saya mereka masa bodoh. Mereka sering bilang begini, kalau perempuan itu ujung-ujungnya jadi ibu rumah tangga, untuk apa sekolah tinggi-tinggi,” ceritanya.
Namun di tengah proses berat yang dilalui Minha, sang ibu selalu memberikan semangat. Apalagi Minha bisa berkaca langsung dari kondisi kehidupannya sendiri yang hidup tanpa kasih sayang ayah.
Kehidupan di kampung halamannya, nyaris setiap waktu ia saksikan ada kasus perkawinan anak, perceraian bahkan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) pernah terjadi di depan mata. Dia pun pernah melindungi wanita korban perkawinan bawah umur dari pukulan sang suami.
“Saat itu memang saya betul-betul kebingungan, bertanya dengan diri sendiri dengan siapa saya akan menyelesaikan persoalan di desa,” katanya menceritakan isi hatinya saat itu.
Beruntung, Save the Children (STC) masuk ke desa Minah dengan tujuan yang sama. Perlahan Minah dibimbing STC termasuk dalam cara berkomunikasi. Edukasi pun terus digalakkannya dengan masuk ke sekolah-sekolah. Kerja keras dilakukan Minha dan rekannya pun berbuah manis. Keberadaan mereka mulai diterima warga dan lembaga pendidikan termasuk pemerintah desa.
“Sejak dari situ kasus perkawainan anak kami lihat mulai menurun, para orangtua juga sadar dan tahu pentingnya masa depan anak. Kalau dulu di desa kami ini kecil-kecil sudah menikah, ya karena orangtua juga mendukung,” tuturnya.
Selain itu, adapun temuan Minha dampak dari perkawinan anak. Baru usia pernikahan 1 atau 2 tahun istri biasa ditinggal suami menjadi PMI atau TKI. Belum lagi biaya pernikahan sebelumnya akan dilimpahkan menjadi beban kedua pasangan muda ini. Ditambah tempat tinggal belum ada yang sering menyebabkan istri tidak nyaman dan menuntut dibangunkan rumah.
“Ada teman saya pernah curhat, dia bilang nyesel menikah,” cerita Minha.
Sementara itu, sekarang kondisi di desa mulai membaik. Hak-hak anak menjadi atensi pemerintah desa bahkan forum anak (FA) berhasil dibentuk yang langsung diakui keberadaan oleh desa. Tidak sampai disitu, pemerintah desa sekarang memberikan ruang bagi FA untuk bersuara di forum resmi desa.
“Alhamdulillah sekarang sudah lebih baik, apalagi setelah ada forum anak,” ucapnya.
Aktivis pelindung hak anak Zuhri yang juga ibu Minha membeberkan kondisi awal di desanya. Dia mengaku begitu banyak persoalan anak hingga perkawinan anak terjadi. Gara-gara memperjuangkan hak anak, Zuhri sering menerima ancaman. Itu terjadi tahun 2007-2008.
“Saya pernah diancam, pernah ditodong pukulan, pernah dipukulkan meja di Dinas Sosial Lombok Timur. Ada banyak kami rasakan sebagai aktivis,” ceritanya.
Dikatakannya, perkawinan anak banyak terjadi di Desa Jenggik Utara disebabkan beberapa factor. Kurang perhatian orangtua, pengaruh media sosial dan itu menimpa sebagian besar anak ditinggal orangtua menjadi PMI.
Selain itu adapun penyebab lain, kandang telat pulang ngapel dipaksa dinikahkan. Biasa di kampung anak ngapel ke rumah wanita tidak boleh lebih jam 10 malam. Kalau lewat sanksi dinikahkan.
“Contoh kasus si cowok dari Desa Jenggik Utara terus ngapel ke Lombok Tengah, lama pulang langsung dinikahkan orangtua. Ada dua kasus kita temukan,” bebernya.
“Setelah masuk Save the Children kami kemudian melakukan edukasi. Nah kalau sebelumnya kami tidak tahu harus berbuat apa,” katanya.
Kasi Pelayanan Desa Jenggik Utara, Suparni mengakui keberadaan forum anak. Sekarang mereka diberikan ruang bersuara di desa. Sebagai bentuk dukungan desa terhadap hadirnya forum anak, pemdes mengalokasikan anggaran melalui APBDes untuk forum anak berkegiatan. Langkah ini dilakukan sebagai bentuk kepedulian pemerintah desa. Diharapkan kedepan forum anak bisa mengajak anak-anak lain bisa menyuarakan hak mereka.
“Jujur mereka lebih tahu persoalan anak dari pada kami, jadi kami sangat terbantu,” katanya.
Keberadaan forum anak ini bukan hanya diakui Pemerintah Desa Jenggik Utara, pemerintah kecamatan bahkan kabupaten juga. Dalam satu kegiatan, forum anak ini pernah menyampaikan kondisi mereka dan apa yang diharapkan untuk anak-anak di desa.
Tapi di balik itu semua, dirinya mengakui ini juga tidak lepas dari bimbingan Save the Children kurang lebih 2 tahun. Dia melihat begitu banyak kemajuan anak-anak di desa bahkan berhasil mendirikan forum anak.(ais)
Response (1)