LOMBOK – Panasehat Hukum (PA) terdakwa Baiq Prapningdiah, Lalu Piringadi menilai Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak cermat dalam mengidentifikasi kedudukan dan kapasitas mantan bendahara pengeluaran dalam mengelola dana Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) RSUD Praya tahun 2017-2020. Hal ini disampaikan PH dalam sidang eksepsi yang digelar di Pengadilan Tipikor Mataram, Kamis (16/3/2023).
Selain itu, Piringadi juga menyebutkan jika JPU mengkaitkan kapasitas terdakwa selaku bendahara pengeluaran dengan tanggungjawab yang sama dengan seorang bendahara pengeluaran yang anggaran bersumber dari APBD.
“Jadi beda, tanggungjawab tidak semua sama. Tergantung dana yang dikelola,” tegasnya kepada jurnalis Koranlombok.id, Jumat (17/3/2023).
Piringadi juga menyinggung penahanan langsung dilakukan jaksa 24 Agustus 2022. Sementara jaksa belum memiliki bukti atau dasar hasil audit kerugian Negara. Mislanya, dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sementara menetapkan seseorang menjadi tersangka minimal memiliki dua alat bukti sesuai dengan KUHP. Ini juga berdasarkan Peraturan Meneteri Dalam Negeri nomor 79 tahun 2018 tentang BLUD.
Sementara itu kata Piringadi, JPU menuduh terdakwa melakukan dugaan mark up dalam pengelolaan barang dan jasa. Sedangkan JPU tidak bisa menjelaskan standar harga yang dijadikan sebagai patokan harga.
“Jadi mark up disebut jaksa tidak jelas,” katanya.
Disamping itu, dalam surat dakwaan jaksa terutama dalam mendiskripsikan kedudukan BLUD RSUD Praya terkandung pandangan hukum yang keliru oleh jaksa. Padahal dalam Permendagri nomor 79 tahun 2018 tentang BLUD. Status BLUD RSUD Praya sebagai entitas yang memiliki sejumlah perbedaan dengan SKPD.
“Sehingga terang dan jelas pengelolaan keuangan BLUD dengan SKPD tidak sama. Sidang lanjutan akan kembali digelar 27 Maret agenda tanggapan JPU atas eksepsi,” pungkasnya.(dk)