LOMBOK – Ketua DPW Gelora NTB, Lalu Pahrurrozi menyebutkan ada lima indikasi kegagalan program andalan Gubernur NTB, H. Zulkieflimansyah.
“Dalam diskusi tadi saya sampaikan. Statistik itu menangkap gejala permukaan, jadi itu menjadi input berharga. Contohnya, statistik kemiskinan bila kita 14 persen, dia diintervensi triliunan uang, jika stagnan. Berarti intervensi nya bermasalah, ” tegasnya dalam keterangan resminya.
Ojhie panggilan akrabnya, saat Diskusi publik yang digelar oleh KNPI Provinsi NTB dipaparkan agar Covid-19 atau gempa tidak jadi dasar, ia hanya mengambil data periode 2021-2022. Indikasi pertama, soal pertumbuhan sektor industri melemah dari 2021 ke 2022, dari 2,1 persen menjadi 1,98 persen. Berikutnya, share industri pada PDRB melemah dari 2021 ke 2022, dari 4 persen ke 3,76 persen.
“Ketiga tenaga kerja sektor industri berkurang dari 12,09 persen ke 10,11 persen. Juga pada 2021 ke 2022,” terangnya.
Indikasi keempat, dari dokumen RPJMD sebelum perubahan atau setelah perubahan tidak terpenuhi, baik yang menggunakan pendekatan pertumbuhan sektoral atau pertumbuhan nilai tambah. Sementara pada LKPJ, menurutnya laporan dari Gubernur cukup fatal.
Indikasi kelima, kata Ojhie, terkait dengan dukungan lembaga keuangan dibawah 3 persen untuk industri. Tampak lembaga keuangan belum melirik sektor ini.
“Akhirnya saya tutup diskusi ini dengan proyek mangkrak pabrik seed dan feedmil. Saya urai dari teorinya Weber. Saya juga ungkap soal motor listrik, masuk kantong kanan keluar kantong kiri,” tegasnya.
Dalam diskusi itu, Gubernur NTB dan Kadis Perindustrian yang hadir lebih banyak bicara menggunakan frase “akan atau masih dalam proses.” Misalnya rencana Antoni Salim akan investasi. Padahal ini sudah di akhir masa jabatan. Tampaknya pejabat di NTB kurang memperhatikan industrialisasi sebagai proses panjang, seperti yang diungkapkan dalam cerita hidup oleh Nasrin sang pencetus Teh Kelor, sehingga kontinuitas industrialisasi seperti yang dipaparkan Kepala Dinas Perindustrian dimulai dari 2020 dengan rencana induk industrialisasinya.
“Saya menyebut seminar itu Diskusi tanpa Jawaban. Karena 5 indikasi tadi jawabannya, Covid . Padahal saya sudah sederhanakan menjadi tahun 2021-2022,” katanya.
Dalam diskusi dengan Iwan Harsono, Ojhie menyebut, ada yang salah ketika gubernur menyamakan pertumbuhan industri 7 persen dari pertumbuhan jumlah UMKM industri.
“Ini saya bilang ke Doktor Iwan sebagai potensial menjadi data bodong. Jumlah UMKM kan tidak menggambarkan output. Saya sarankan, sebaiknya gubernur melalui Dinasnya, melengkapi pendekatan kelembagaan UMKM nya dengan menghimpun jumlah output UMKM-nya, bukan sekedar register UMKM-nya. Jadi nanti datanya bisa disandingkan, bisa dibandingkan dengan data BPS” sambung Ojhie.
Ojhie meluruskan adanya pemberitaan yang menyebut ia lari dari diskusi. Gubernur meninggalkan acara duluan. Justru pada kesempatan itu ia harus mengejar pesawat, ia pun menyampaikan intinya saja.
“Saya apresiasi acara kemarin. Tapi ke depan, saya berharap diskusi semacam ini saling membagi data, bukan hanya pendapat sepihak. Pemaparan saya berdasar data BPS dan dokumen RPJMD Provinsi NTB, ” tegasnya.(dik)