LOMBOK – Praktek “kotor” berhasil ditemukan Ombudsman RI Perwakilan NTB dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun 2023. Salah satunya, oknum kepala sekolah yang bekerjasama dengan penjual baju seragam. Ujung-ujungnya, kepala sekolah ini menerima persen dari penjual baju.
Selain itu, Ombudsman RI Perwakilan Provinsi NTB mencatat sejumlah temuan lainnya. Temuan ini berhasil diperoleh salah satunya melalui pembukaan Posko Pengaduan pelaksanaan PPDB 2023. Termasuk pengawasan dilakukan dengan pemantauan secara langsung kesejumlah sekolah tingat dasar dan menengah, baik sekolah yang berada di bawah nanungan Dinas Pendidikan maupun Kementerian Agama.
“Tujuan pemantauan secara langsung ke sekolah-sekolah guna mengetahui permasalahan yang muncul di lapangan, serta memastikan mekanisme di dalam juknis PPDB berjalan dan tepat sasaran,” terang Kepala Keasistenan Bidang Pemeriksaan Laporan Ombudsman RI Perwakilan NTB, Ikhwan Imansyah dalam keterangan resminya, Kamis (13/7/2023).
Dibeberkannya, adapun temuan-temuan yang menjadi catatan Ombudsman dalam pengawasan PPDB 2023.
- Belum ada kepastian untuk peserta yang tidak diterima pada PPDB 2023 SMA jalur zonasi akan didistribusikan ke sekolah mana meskipun kriteria pendistribusian sekolah sudah ditentukan oleh dinas yaitu tidak jauh dari tempat tinggal peserta.
- Dalam aplikasi pendaftaran PPDB 2023 yang disediakan Dikbud NTB tidak memberikan informasi berdasarkan waktu terkini (realtime), pada saat dilakukan pengecekan urutan ranking peserta, informasi yang tersedia masih pada waktu terakhir saat penutupan penerimaan, karena terdapat jeda 2 hari selama. 2 hari tersebut status terakhir terpampang mengikuti tanggal waktu penutupan bukan pengumuman.
- Penjualan baju seragam sekolah dalam proses PPDB 2023 yang dilakukan oleh oknum panitia dengan modus menyertakan list baju seragam sekolah dan harganya kepada peserta PPDB 2023 pada saat daftar ulang.
- Modus yang lain oknum kepala sekolah bekerjasama dengan penjual baju seragam agar memperoleh persenan dari penjual.
- Terdapat banyak Kartu Keluarga peserta PPDB 2023 yang tidak dapat terverifikasi saat pendaftaran, sehingga diduga baru di update untuk kebutuhan PPDB 2023, sehingga perlu pelibatan Dukcapil dalam rapat koordinasi sebelum penetapan Juknis PPDB 2023.
- Masyarakat masih memfavoritkan beberapa sekolah sehingga menggunakan berbagai cara agar dapat diterima oleh sekolah yang diinginkan antara lain, merubah alamat Kartu Keluarga menjadi lebih dekat dengan sekolah yang dituju dengan cara meminjam alamat orang lain, merubah status anak kandung dalam Kartu Keluarga Karena ada ketentuan PPDB yang memprioritaskan anak kandung dibandingkan cucu dan famili, dan perubahan periode terbitnya Kartu Keluarga yang diatur seolah-olah telah terbit terlebih dahulu 1 tahun lamanya.
“Berdasarkan temuan ini kami Ombudsman RI Perwakilan Nusa Tenggara Barat telah menindaklanjuti dengan berkoordinasi ke Dinas Pendidikan maupun pihak terkait untuk mengambil langkah-langkah penyelesaian permasalahan,” bebernya.
Selain itu, permasalahan siswa yang belum diterima di sekolah dan Ombudsman melihat seperti di Dinas Pendidikan Provinsi NTB pascapengumuman mulai dihubungi sejumlah orangtua yang anaknya belum mendapatkan sekolah. Begitu juga bermasalah dengan zonasinya, sehingga dicarikan solusi oleh Dinas Pendidikan Provinsi NTB untuk didistribusikan kesejumlah sekolah dengan memperhatikan jarak serta opsi penambahan kelas atau rombel.
“Terkakit permasalahan seragam sebelumya kami sudah ingatkan terkait larangan penjualan seragam oleh pendidik, tenaga pendidik dan komite sekolah bahkan sudah jelas dinas melarang penjualan seragam, akan tetapi masih terjadi dengan modus berbeda,” ungkapnya.
Untuk itu, sehingga harus jadi perhatian Dinas Pendidikan dan Kanwil Kemenag, karena sudah jelas larangan penjualan seragam apalagi dijadikan syarat daftar ulang karena bertentangan dengan Pasal 181 dan Pasal 189 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan.
“Bunyinya, pendidik dan tenaga kependidikan, baik perseorangan maupun kolektif, dilarang menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di satuan Pendidikan,” paparnya.
Tidak hanya itu, sambungnya, dewan pendidikan dan atau komite sekolah / madrasah, baik perseorangan maupun kolektif, dilarang menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan.
Atas dasar itu, ini bertentangan dengan Pasal 13 Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 50 Tahun 2022 Tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah.
“Dalam pengadaan pakaian seragam Sekolah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, sekolah tidak boleh mengatur kewajiban dan/atau memberikan pembebanan kepada orang tua atau wali Peserta Didik untuk membeli pakaian seragam Sekolah baru pada setiap kenaikan kelas dan/atau penerimaan Peserta Didik baru,” jelas dia.(dik)