LOMBOK – Tradisi Perang Timbung setahun sekali dijadikan sebagai ajang cari jodoh oleh warga Desa Pejanggik, Kecamatan Praya Tengah, Lombok Tengah. Dari tradisi itu, banyak sudah terbukti dan berjodoh.
Selain ajang mencari jodoh, Perang Timbung ini juga kembali kepada niat masing-masing orang. Bahkan dulu, warga Pejanggik berhamburan naik ke Makam Serewe agar kena lempar timbung. Tentu sebelumnya, mereka memasang niat. Biasanya paling banyak niat mencari jodoh.
Dari Perang Timbung itu, antar si pria dan wanita pasang niat ingin mencari jodoh dalam momen tersebut. Misalnya, timbung yang dilempar si pria mengenai wanita maka atas izin Allah keduanya akan berjodoh tanpa waktu yang lama.
“Itu sudah sering di sini, dan banyak bukti,” ungkap Mangku Makam Serewe, Purne kepada jurnalis Koranlombok.id, Sabtu (26/8/2023).
Sementara penentu kapan dilakukan tradisi Perang Timbung bukan sembarangan. Tradisi setahun sekali ini digelar ketika Pohon Dangah yang ada di Makam Serewe mengeluarkan bunga. Pohon ukuran besar ini, hanya setahun sekali berbunga warna merah.
“Jadi ini tandanya, tidak sembarangan kita lakukan,” terangnya.
Dijelaskan Purne, tradisi Perang Timbung dilakukan sebagai bentuk rasa syukur masyarakat Desa Pejanggik dan sebagai bentuk memperkuat tali silaturrahmi antar warga. Sehingga dengan cara inilah masyarakat mengisi rasa syukurnya atas keamanan dan kedamaian yang dirasakan. Demikian juga bersyukur atas hasil bercocok tanam.
“Kalau dulu ada masa paceklik pada saat kemarau panjang, sehingga Perang Timbung sebagai simbolis menyatukan warga Desa Pejanggik. Dan paling penting kalau Perang Timbung tidak boleh dilakukan selain menggunakan timbung, kalau pakai batu atau lainnya itu melenceng namanya,” ceritanya.
Ini video wawancara eksklusif :
Disamping itu, Perang Timbung ini merupakan peninggalan orangtau masa lalu di Desa Pejanggik. Dimana dulu diketahui luas jika ada sosok Datu Pejanggik atau seorang raja terhormat di Pulau Lombok. Bahkan sebagai bukti keberadaanya, masih berdiri kokoh Bale Baleq atau Keraton sebagai tempat tinggal sang raja beserta keluarga.
“Kalau Makam Serewe ini bukan tempat makam beliau (Datu Pejanggik, red), di sini dulu beliau menghilang dan sampai sekarang tidak ada yang tahu dimana,” ceritanya lagi.
Menurut cerita orangtua Murne sebagai mangku pertama makam. Masyarakat Pejanggik dulunya kumpul semua di lokasi Makam Serewe. Sementara makam yang banyak di Makam Serewe merupakan makam dari pengikut Datu Pejanggik, termasuk pengasuh keluarga Datu Pejanggik.
“Kenapa makam ini diberikan nama Makam Serewe, sebenarnya sereok bahas di Pejanggik artinya melihat. Makanya diberikan nama Makam Serewe karena dulu dilihat di sini menghilang terakhir Datu Pejanggik,” tutur Murne menceritakan.
Namun sampai saat ini, Murne mengaku belum ada pihak yang mengetahui dimana keberadaan Datu Pejanggik.
“Di sini beliau menghilang dan sempat berpesan kepada warga Pejanggik akan berhijrah entah kemana dan kapan kembali,” tutupnya.(dik)