LOMBOK – Kepala Desa Perampuan, Kecamatan Labuapi, Kabupaten Lombok Barat H. Zubaidi menyebutkan kasus putus sekolah tinggi karena disebabkan faktor lingkungan. Bukan itu saja, demikian pergaulan dianggap sebagai hal yang mendorong terjadinya peningkatan angka putus sekolah di Desa Perampuan.
Kepala desa menilai sebagai penyangga desa, tidak sepantasnya para remaja di Desa Perampuan mengalami putus sekolah. Apalagi masyarakatnya tergolong orang-orang mampu dan berkecukupan.
“Banyak anak-anak remaja malas sekolah, lebih memilih bekerja dan berumah tangga menjadi faktor putus sekolah. Seharusnya ada norma-norma dan kebijakan yang diterapkan oleh punggawa-punggawa kampung secara langsung untuk mengurangi angka putus sekolah di kalangan remaja Desa Perampuan,“ tegasnya kepada media, Jumat (1/9/2023).
Dijelaskannya, pada akhir tahun 2023 pihaknya mengakui banyak kasus yang sudah ditangani oleh Pemerintah Desa Perampuan. Tidak ditutupi, pemerintah desa sudah menjalankan beberapa program kemanusiaan dan pemberdayaan perempuan dan anak untuk menekan agar kasus ini menurun.
Zubaidi mengaku sangat siap untuk mengantisipasi dan mengurangi persoalan kasus putus sekolah di Desa Perampuan, termasuk rancangan pendidikan nonformal untuk anak muda dan menargetkan untuk dilakukan Posyandu remaja lebih banyak ditingkatkan.
“Salah satunya yaitu program sekolah perjumpaan,” katanya.
Dijelaskan kepala desa, sekolah perjumpaan adalah pertemuan rutin. Dimana pertemuan bisa dilakukan seminggu sekali atau dua minggu sekali oleh kelompok orang yang menginginkan pertemun bersama dalam suatu perjumpaan.
Untuk pertemuan itu akan diikuti suatu kesepakatan. Misalnya dalam perjumpaan pertama membuat kesepakatan orang untuk tidak berbohong, jika itu dilakukan secara terus menerus dalam suatu waktu tertentu, maka akan timbul perasaan bersalah jika telah berbohong.
“Proses belajar yang ada kebersamaan atau secara kolektif akan memudahkan melakukan koreksi diri sehingga pada suatu saat kehidupan itu menjadi suatu watak, karakter dan bisa menjadi suatu peradaban,” jelasnya tegas.
Ditambahkan kepala desa, dalam sekolah perjumpaan nantinya akan dibimbing oleh seorang relawan dalam setiap pertemuan yang secara sukarela untuk mendampingi pertemuan, sekaligus menginisiasi apa tema pertemuan. Mereka yang menjadi relawan biasanya adalah kalangan anak mahasiswa yang masih mempunyai idialis tinggi.
Sementara itu, dirinya yakin masing dusun akan muncul warga setempat yang menjadi relawan baru karena sering bertemu, sehingga idialis mereka tumbuh dan ikut menjadi relawan.
Disamping itu, berdasarkan data dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Lombok Barat, terdapat 37 ribu warga Lombok Barat putus sekolah pada tingkat Sekolah Dasar (SD), rata-rata usia mereka sekarang 21 tahun.(jnm)