LOMBOK – Permintaan air bersih oleh masyarakat di Kabupaten Lombok Tengah makin meluas. Sehari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) menyalurkan air bersih keenam kecamatan.
Enam kecamatan itu di antaranya, Pujut, Praya Timur, Praya Barat, Praya Barat Daya, Janapria dan Jonggat. Enam kecamatan ini terdampak bencana kekeringan dan krisis air bersih sampai sekarang.
“Jadi setiap hari kami distribusikan air bersih,” ungkap Kepala Pelaksana BPBD Lombok Tengah, H. Ridwan Ma’ruf kepada jurnalis Koranlombok.id, via ponsel, Kamis (14/9/2023).
Ridwan menjelaskan, pihaknya telah menyalurkan air bersih selama ini sebanyak 72 tangki. Sementara ada bantuan dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), mereka membantu menyalurkan air bersih.
“Ada dibantu dua tangki dari Bank NTB dan TNI dua tangki juga. Sampai saat ini kami memiliki delapan stok tangki air bersih untuk membantu masyarakat,” bebernya.
Disampaikan Ridwan, paling banyak sejauh ini membutuhkan air bersih dari Kecamatan Praya Timur. Sejumlah desa di kecamatan itu bersurat meminta bantuan air bersih.
“Ya harus kami layani,” katanya.
Ia menambahkan, selama ini BPBD Lombok Tengah mendistribusikan air bersih tergantung dari permintaan masyarakat. Sehingga pihaknya telah membuat posko pengaduan dan posko penanggulangan kekeringan agar masyarakat yang terdampak kekeringan dapat melakukan permintaan air bersih melalui posko yang dibuat.
Disamping itu dampak dari krisis air membuat sejumlah petani gagal panen. Misalnya petani padi di Dusun Otak Desa, Desa Puyung, Kecamatan Jonggat, Kabupaten Lombok Tengah mengalami gagal panen. Petani mengaku kesulitan memperoleh air selama ini. Begitu juga di saluran irigasi tidak ada.
“Ada isinya tapi kalau kita tunggu lebih lama nanti kering, karena air juga kurang,” ungkap Ukir salah satu petani saat di sana, Senin (18/9/2023).
Dia menceritakan, hasil panen kali ini gagal demikian juga hasil produksi dari semula bisa mencapai 2 ton kini hanya 4 kwintal, sedangkan biaya yang telah mereka keluarkan cukup banyak. Sedangkan padi yang masih hijau dan gagal berkembang tersebut terpaksa dijadikan untuk pakan ternak.
“Bisa dikatakan yang lain-lain ini kan juga bulirnya banyak kosong, termasuk gagal panen,” katanya.
Untuk sekali lama tanam, setidaknya menghabiskan modal sekitar Rp 4 juta lebih dengan pengairan mengandalkan mesin penyedot dari waduk terdekat, sementara dengan pengairan irigasi hanya Rp 2,5 juta yang didapatkan dari saluran Jurang Sate.(nis/ufi)