Kurikulum Merdeka yang Belum Tuntas, Kenapa Harus Diubah?

oleh -604 Dilihat
FOTO DOK PRIBADI PE M HAIDIR ALI MB

 

 

Suara Kritis dari Pemikiran John Dewey terhadap Kebijakan Pendidikan yang Tidak Konsisten

 

Oleh : PE M Haidir Ali MB

PENDIDIKAN di Indonesia, seperti yang sering kita saksikan, mengalami pergantian kebijakan yang begitu cepat dan tak terduga. Salah satu contoh yang paling mencolok adalah dengan adanya Kurikulum Merdeka, yang meskipun baru mulai diterapkan secara luas, kini muncul wacana dan pembicaraan mengenai kemungkinan penggantian atau perubahan lebih lanjut. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: Jika Kurikulum Merdeka belum sepenuhnya dijalankan, mengapa harus ada perubahan lagi?

 

Fenomena “ganti menteri, ganti kurikulum” seakan menjadi siklus yang tak terhindarkan dalam dunia pendidikan Indonesia. Setiap kali ada pergantian menteri pendidikan, kebijakan kurikulum pun tidak jarang diubah, meski sebelumnya telah dicanangkan dengan semangat dan harapan tinggi. Tentu saja, perubahan ini menambah kebingungan di kalangan pendidik, siswa, dan orang tua. Bagi mereka yang berada di garis depan pendidikan (para guru) perubahan yang datang terlalu cepat dan tanpa evaluasi menyeluruh hanya menambah beban, dan tentu saja, mengguncang kepercayaan mereka terhadap sistem pendidikan yang terus berubah tanpa arah yang jelas.

 

Dalam konteks ini, John Dewey, seorang filsuf pendidikan progresif asal Amerika Serikat, memberikan kritik yang sangat relevan. Dewey menekankan bahwa pendidikan adalah proses yang berkelanjutan, dan seharusnya berfokus pada perkembangan anak didik secara menyeluruh, serta bersifat partisipatif. Dalam karyanya “Democracy and Education”(1916), Dewey berkata, “Education is not preparation for life; education is life itself.” Ini berarti pendidikan bukan hanya persiapan untuk kehidupan masa depan, melainkan bagian dari kehidupan yang berjalan secara alami dan terus-menerus. Ketika kurikulum berubah-ubah tanpa pertimbangan mendalam, maka yang terjadi adalah gangguan besar bagi proses hidup itu sendiri.

Baca Juga  Ketertarikan GenZ pada Gendang Belek, Sebagai Warisan Budaya

 

Kurikulum Merdeka yang diperkenalkan beberapa tahun lalu merupakan upaya untuk memberikan lebih banyak kebebasan bagi sekolah dan guru dalam menentukan metode pengajaran, dengan fokus pada karakter dan kemampuan dasar yang relevan dengan kehidupan nyata. Namun, meskipun semangat kebebasan dan fleksibilitas yang ditawarkan oleh Kurikulum Merdeka sangat positif, implementasinya masih jauh dari kata tuntas. Banyak sekolah dan guru yang belum sepenuhnya siap dengan perubahan tersebut, baik dalam hal kesiapan sumber daya, pelatihan guru, maupun pemahaman konsep yang mendalam. Dan kini, dengan adanya wacana untuk mengganti kurikulum lagi, kita harus bertanya: apakah ini keputusan yang bijaksana?

 

Dewey memperingatkan kita, “The most important attitude that can be formed is that of desire to go on learning.” Sikap terpenting dalam pendidikan adalah keinginan untuk terus belajar, baik bagi siswa maupun para pengajarnya. Namun, bagaimana mungkin sikap ini dapat berkembang dengan baik jika sistem pendidikan terus-menerus diubah tanpa evaluasi yang cukup? Para guru harus terus beradaptasi dengan perubahan yang sering kali datang tanpa adanya penyusunan yang matang. Mereka tidak diberi cukup waktu untuk merenung dan menyempurnakan metode mereka sesuai dengan kebutuhan siswa. Bahkan lebih buruk lagi, siswa tidak dapat merasakan konsistensi dalam pembelajaran mereka, yang membuat mereka merasa tertekan dan bingung dengan tujuan pendidikan itu sendiri.

Baca Juga  Inventarisasi Masalah Administrasi Dokumen Syarat Pencalonan Pilkada 2024

 

Perubahan yang terlalu sering, seperti yang terjadi dengan kurikulum yang terus diganti setiap kali ada pergantian menteri, akan mengganggu kestabilan pendidikan. Dewey menekankan bahwa pendidikan yang baik seharusnya bertujuan untuk memberikan pemahaman yang mendalam, bukan hanya mengajarkan siswa untuk menghafal informasi yang dapat diganti dengan mudah oleh kurikulum baru. Bila perubahan kurikulum lebih didorong oleh agenda politik dan kekuasaan daripada evaluasi berbasis kebutuhan pendidikan jangka panjang, maka kita hanya akan mengorbankan masa depan siswa.

 

Kurikulum Merdeka, yang meskipun belum sepenuhnya diterapkan, telah membawa harapan baru bagi dunia pendidikan Indonesia. Ia menawarkan fleksibilitas, kemandirian, dan kesempatan untuk mendalami potensi siswa secara lebih individual. Namun, mengubahnya lagi tanpa evaluasi menyeluruh dan tanpa keterlibatan aktif dari para guru, siswa, dan masyarakat adalah langkah mundur. Sebagaimana yang disampaikan Dewey dalam karyanya “Experience and Education” (1938), “Any genuine teaching will result, if successful, in someone’s knowing how to learn, and in their wanting to learn.” Pendidikan yang sukses adalah yang mengajarkan siswa bukan hanya untuk menerima informasi, tetapi juga untuk berpikir kritis dan terus belajar sepanjang hayat.

Baca Juga  Memaknai Keberkahan Ramadan dalam Berbagi Makanan

 

Di Indonesia, kita membutuhkan stabilitas dalam pendidikan. Guru dan siswa harus diberi waktu yang cukup untuk menjalani dan menyesuaikan diri dengan kurikulum yang ada. Perubahan kurikulum seharusnya dilakukan dengan hati-hati, berdasarkan evaluasi yang matang, dan dengan melibatkan mereka yang benar-benar berinteraksi langsung dalam proses pendidik, yakni para pendidik, orang tua, dan siswa. Sebagai negara yang ingin maju, kita harus memahami bahwa pendidikan bukan sekadar alat untuk mencapai tujuan jangka pendek, melainkan investasi jangka panjang bagi masa depan bangsa.

 

Jika kita terus-menerus mengganti kurikulum tanpa dasar yang jelas, kita tidak hanya mengganggu proses belajar, tetapi juga merusak fondasi pendidikan itu sendiri. Sudah saatnya kita berhenti mempermainkan pendidikan demi kepentingan politik sesaat, dan mulai membangun sistem pendidikan yang lebih stabil, berkelanjutan, dan berpihak pada kebutuhan nyata siswa. Sebagaimana yang dikatakan Dewey, pendidikan adalah proses yang berkelanjutan, dan tidak boleh diubah-ubah berdasarkan perubahan kekuasaan yang hanya mengaburkan tujuan utama pendidikan itu sendiri.

 

Dengan tulisan ini, saya mencoba menggambarkan bahwa perubahan kurikulum yang sering dilakukan tanpa evaluasi mendalam akan merugikan stabilitas pendidikan di Indonesia, terutama bagi guru dan siswa. Kurikulum Merdeka, meskipun masih dalam tahap implementasi, seharusnya diberi kesempatan untuk berkembang dan dievaluasi dengan lebih bijaksana, bukan digantikan hanya karena pergantian kekuasaan.

 

Tentang Penulis: Redaksi Koranlombok

Gambar Gravatar
Koranlombok media online dari Provinsi Nusa Tenggara Barat. Koranlombok selalu menayangkan berita Penting, Unik dan Menarik untuk dibaca.

Response (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.