LOMBOK – Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kemenag) Provinsi NTB terancam akan diadukan ke Ombudsman. Ancaman ini keluar pascatidak diresponsnya, surat perihal permohonan Senin, (8/7/2024) oleh Yayasan Tunas Alam Indonesia (Santia) NTB. Sementara surat ini dilayangkan dua kali, tanggal 1 Juli dan 3 Juli.
“Kami kecewa atas tidak adanya tanggapan dari Kantor Kemenang NTB. Kalau tidak ada tanggapan, dalam waktu dekat kami akan mengirimkan lagi suratnya. Apabila tidak ditanggapi maka kami adukan ke Ombudsman RI terkait dugaan mall administrasi dengan mengabaikan surat kami,” tegas Direktur Yayasan Tunas Alam Indonesia / Santai NTB, Suharti dalam keterangan tertulis diterima redaksi Koranlombok.id.
Dikatakan Suharti, ada kesan Kemenag NTB ingin lari dari tanggungjawab terkait maraknya kasus kekerasan di Pondok Pesantren (Ponpes).
Hal sama juga dikatakan Direktur Yayasan Institut Perempuan untuk Perubahan Sosial / InSPIRASI NTB, Nurjanah. Dalam kesempatan itu, ia juga mengungkapkan beberapa poin tuntutannya kepada Kemenag NTB dan seluruh Ponpes di NTB.
- Segera bentuk SATGAS terkait pencegahan dan penanganan kekerasan di pondok pesantren dengan melibatkan berbagai unsur termasuk di dalamnya media, dan masyarakat sipil.
- Evaluasi Ponpes terkait ada tidaknya tata kelola kelembagaan yang ramah perempuan dan anak termasuk ketersediaan ruang khusus bimbingan konseling yang layak, serta tempat pengaduan.
- Monitoring berkala terhadap Ponpes.
- Adanya kurikulum khusus terkait kesehatan reproduksi dan pencegahan kekerasan/kekerasan seksual. Tahapan implementasinya dengan melakukan sosialisasi berkala pada awal masa orientasi santri/santriwati.
- Wujudkan Kemenag yang transparan dengan publikasi hasil temuan SATGAS serta monitoring dan evaluasi berkala terhadap Ponpes akan implementasi tata kelola kelembagaan yang ramah terhadap perempuan dan anak.
“Data Komnas Perempuan menyebutkan bahwa pondok pesantren menjadi lembaga pendidikan nomor 2 dengan kasus kekerasan seksual. Untuk itu, semua orang harus mengambil bagian dalam mewujudkan ruang aman bagi perempuan dan anak,” tegas Nurjanah.
Selain itu, kata Nurjanah, lembaga yang secara langsung memiliki kewenangan terhadap Ponpes Kemenag NTB dan Pemda untuk segera menghentikan kekerasan dan tidak melakukan pembiaran atas maraknya korban berjatuhan di Ponpes.
“Jangan ada lagi upaya menutupi hanya karena alasan menjaga nama baik lembaga,” tegasnya lagi.
Sementara, Ketua Umum PBHM NTB Yan Mangandar Putra menerangkan jika Koalisi PPA NTB menyatakan bersedia secara langsung atau dihubungkan dengan lembaga layanan lain seperti UPTD PPA bila dibutuhkan untuk pendampingan psikososial termasuk layanan konseling dengan psikolog dan bahkan anggota koalisi PPA NTB yang memiliki layananan bantuan hukum seperti, LBH APIK NTB, PBHM NTB, LBH PELANGI dan LPA MATARAM.
“Kami bersedia memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH), baik sebagai anak saksi dan anak yang diduga sebagai pelaku tindak pidana dalam kasus anak korban Nurul Izatih asal Ende, NTT,” kata Yan.
Menurut dia, tidak mudah bagi psikologi anak yang pernah melihat atau melakukan kekerasan pasti ada tekanan mental yang akan berdampak panjang kalau tidak segera ditangani. Bagaimana pun juga salah satu prinsip penting dalam pelindungan anak adalah kepentingan yang terbaik bagi anak.
Disamping itu sampai berita ini diturunkan belum bisa dikonfirmasi Kepala Kantor Kemenag NTB.(red)