LOMBOK – Plt Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kabupaten Lombok Tengah, Kusriadi membocorkan hasil rapat koordinasi (Rakor) dengan menyikapi maraknya kasus pernikahan anak.
Katanya, di tengah marak kasus pernikahan anak bawah umur. Pihaknya akan terus mengintensifkan upaya pencegahan dan penanganan kasus perlindungan anak, khususnya pernikahan anak yang kini menjadi sorotan pemerintah pusat.
Kusriadi menyampaikan, dalam Rakor yang sempat digelar di gedung kantor bupati ditegaskan Rakor itu belum selesai yang disebabkan keterbatasan waktu. Pada Rakor tersebut, pihaknya melibatkan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Provinsi, Majelis Adat Sasak, Lembaga Kerama Adat, seluruh camat, Unit Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (UPT PPA), hingga Polres Lombok Tengah.
“Rapat kemarin fokus pada upaya pencegahan dan penanganan perkara perlindungan anak. Pemerintah saat ini benar-benar fokus, karena persoalan ini sudah menjadi pemberitaan nasional,” katanya kepada media di ruang kerjanya, Selasa (3/6/2025).
Kata dia, dalam kasus ini menunjukkan bahwa kita memang butuh perhatian lebih. Sebab, pernikahan anak menjadi cikal bakal berbagai masalah.
“Namanya anak, jangan sampai punya anak,” tuturnya.
Dalam Rakor itu, LPA, tokoh agama, kementerian agama, tokoh masyarakat, dan Polres ikut menyampaikan berbagi pendapat. Polres menyampaikan dukungannya dalam penanganan kasus sesuai dengan SOP dan hukum yang berlaku.
“Polres juga merasa terbantu dalam penanganan kasus. Mereka menyampaikan bahwa ranah mereka adalah saat ada pelaporan, dan akan ditindaklanjuti sesuai SOP. Tanpa ada intervensi yang lain agar penanganan bisa berjalan normal dan sesuai prosedur hukum,” bebernya.
Ditegaskan Kusriadi, bahwa pernikahan anak di bawah umur bukan bagian dari adat Lombok. Tokoh adat mendorong agar masyarakat kembali memperbaiki adab dan adat.
“Kalau dulu orang yang berdekatan saja bisa jadi aib. Jadi bukan adat Lombok menikahkan anak di bawah umur. Kuncinya ada di keluarga, terutama orang tua. Ini jadi PR kita bersama,” tegasnya lagi.
Dalam rapat tersebut juga dibahas bahwa edukasi merupakan langkah strategis utama. Pemerintah daerah berencana memperluas kolaborasi tidak hanya dengan UPT, tetapi juga organisasi non-pemerintah untuk kampanye pencegahan pernikahan anak dan masuk ke dunia pendidikan.
“Sebagian besar anak gagal sekolah karena menikah. Nomor dua, mereka berhenti sekolah karena sudah menikah. Maka dari situ kita ingin masuk ke sekolah dengan edukasi kesehatan reproduksi dan seksual. Dulu kita hanya menjangkau SMP dan SMA, sekarang kita masuk SD, karena anak kelas 5 dan 6 sudah mulai menstruasi,” sebutnya.
Pihaknya juga bakal memperhatikan dan mengarahkan pemanfaatan IT di sekolah, karena pintu masuknya semua di situ. Pemerintah daerah juga menyoroti pentingnya menciptakan kenyamanan anak di sekolah agar tidak terjadi bullying, serta memastikan anak yang berangkat dari rumah benar-benar sampai dan belajar di sekolah.
Begitu juga upaya edukasi juga diperkuat melalui program Gerai Santri Sehat (GSS), dengan melatih perwakilan santri untuk menjadi agen perubahan . Program Go to School dari DP3AP2KB diklaim telah berjalan, meski saat ini masih menyasar satu sekolah di setiap kecamatan.
Terkait regulasi, Kusriadi menyebut bahwa dewan ada inisiatif mewacanakan penyusunan Peraturan Daerah (Perda) tentang pencegahan pernikahan anak, untuk memperkuat upaya yang sudah berjalan.
“Saat ini kami lebih banyak bergerak di sisi penanganan. Sepanjang tahun ini, sudah tercatat 17 kasus, dan hanya sepertiga yang bisa kami tangani. Ini menunjukkan masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan bersama,” pungkasnya.(hil)