Penulis : Sahrel Gunawan
Mahasiswa Magister Ilmu Politik & Pemerintahan Universitas Gadjah Mada
Pendahuluan.
Pemekaran wilayah sering menjadi topik yang hangat diperbincangkan dalam konteks pembangunan daerah. Di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), sedang menjadi perbincangan hangat atas wacana pemekaran untuk membentuk Provinsi Pulau Sumbawa. Hal tersebut dapat kita lihat dari demontrasi yang terjadi di jalan poto tano, Kabupaten Sumbawa Barat (KSB). Sebuah tuntutan yang dihadirkan oleh berbagai pihak dengan klaim bahwa pemekaran ini adalah jalan terbaik untuk mempercepat pembangunan, memperbaiki layanan publik, serta memberi ruang bagi kearifan lokal untuk berkembang. Namun, pertanyaan besar muncul: Apakah wacana pemekaran ini benar-benar aspirasi murni rakyat ataukah sekadar agenda politik dari elite yang ingin memperkuat posisi dan kekuasaannya?
Konteks Masalah
Pulau Sumbawa, meskipun memiliki kekayaan sumber daya alam dan budaya yang melimpah, masih menghadapi tantangan besar dalam hal pemerataan pembangunan. Infrastruktur yang terbatas, rendahnya tingkat akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan, serta ketimpangan ekonomi antara Pulau Sumbawa dan Pulau Lombok, yang menjadi pusat pemerintahan Provinsi NTB, menjadi alasan kuat bagi banyak pihak untuk mendukung pemekaran. Masyarakat yang merasakan ketidakadilan ini, terutama di daerah- daerah yang kurang berkembang, menganggap bahwa pemekaran wilayah akan membuka kesempatan bagi pemerataan pembangunan dan penguatan layanan publik.
Namun, kalua kita melihat dalam kaca mata Political Economy of Decentralization, bahwa pemekaran wilayah tidak hanya dilihat sebagai upaya distribusi kekuasaan dan sumber daya secara merata, tetapi juga sebagai dinamika kekuasaan yang lebih kompleks. Pemekaran daerah meskipun seringkali diklaim sebagai kebutuhan masyarakat, bisa jadi merupakan langkah yang diambil untuk memenuhi kepentingan politik kelompok tertentu khususnya para elite yang memiliki akses ke kebijakan dan dapat memanfaatkan proses pemekaran untuk mendapatkan keuntungan. Menurut pakar hukum tata negara Prof. Margarito, pemekaran daerah otonomi baru (DOB) di sejumlah wilayah tidak bertujuan mempercepat kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya, pemekaran daerah hanya memperkaya pejabat dan elit tertentu. Manfaat bagi masyarakat tidak ada,
Analisis
Di satu sisi, argumen yang mendukung pemekaran Pulau Sumbawa seringkali berfokus pada pemerataan pembangunan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat. Dengan membentuk provinsi baru, diharapkan anggaran dan kebijakan pembangunan bisa lebih terfokus pada kebutuhan spesifik masyarakat di Pulau Sumbawa, serta memperkuat kearifan lokal yang selama ini terabaikan. Para pendukung pemekaran berargumen bahwa dengan
adanya pemekaran, daerah-daerah yang lebih terpinggirkan akan memiliki kesempatan untuk berkembang lebih cepat tanpa bergantung pada pusat pemerintahan di Lombok.
Namun, jika dilihat dari perspektif Political Economy of Decentralization, pemekaran bisa jadi lebih berkaitan dengan distribusi kekuasaan politik dan kontrol administratif. Teori ini menggarisbawahi bahwa decentralization atau pembagian kekuasaan ke tingkat yang lebih rendah sering kali dipengaruhi oleh dinamika politik elite yang berusaha memperkuat posisi mereka di tingkat lokal. Dalam hal ini, elite politik yang memiliki kepentingan untuk memperoleh jabatan baru, seperti gubernur atau anggota DPRD, bisa mendorong pemekaran dengan harapan memperoleh kontrol lebih besar terhadap anggaran dan kebijakan di wilayah yang baru terbentuk.
Seiring dengan itu, distribusi anggaran yang adil dan efisien sering kali menjadi masalah. Dalam banyak kasus, pemekaran hanya menambah beban administratif tanpa membawa perbaikan yang signifikan dalam kehidupan masyarakat. Data dari Kementerian Dalam Negeri menunjukkan bahwa 70 % daerah hasil daerah hasil pemekaran yang gagal mandiri secara fiskal, bahkan ada yang menjadi beban bagi negara. Jika tidak diimbangi dengan perencanaan yang matang dan evaluasi yang tepat, pemekaran justru bisa memperburuk ketimpangan yang ada.
Alternatif
Pemerintah dan masyarakat harus mempertimbangkan alternatif lain yang lebih berbasis pada peningkatan kapasitas daerah tanpa harus melibatkan pemekaran wilayah. Salah satu pendekatan yang bisa diterapkan adalah dengan memperkuat otonomi daerah yang sudah ada. Political Economy of Decentralization menunjukkan bahwa desentralisasi yang baik tidak harus selalu melibatkan pembentukan pemerintahan baru, melainkan dapat dicapai dengan memperkuat kemampuan pemerintah daerah yang ada melalui peningkatan kapasitas kelembagaan, alokasi anggaran yang lebih adil, serta pembentukan kebijakan yang lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Meningkatkan transparansi dalam pengelolaan anggaran, mendorong perencanaan pembangunan berbasis partisipasi publik, serta memperkuat sektor-sektor penting seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur di tingkat kabupaten/kota, dapat menjadi solusi yang lebih realistis. Pendekatan ini tidak hanya akan memperbaiki kesejahteraan masyarakat, tetapi juga menjaga agar keputusan politik tetap terfokus pada kebutuhan rakyat, bukan pada kepentingan politik jangka pendek para elite.
Penutup
Wacana pemekaran Pulau Sumbawa kita bisa lihat sebagai keritik terhadap iplementasi demokrasi khusunya di NTB, untuk selalu mengdepankan prinsip demokrasi yaitu kesetaraan, kebebasan, partisipasi, akuntabilitas dan keadilan. Meskipun pemekaran sering dijadikan sebagai solusi untuk pemerataan pembangunan, kita harus selalu kritis dan tidak terjebak dalam euforia yang tidak berdasar. Jangan sampai ini di bangun dari motivasi yang sering kali melibatkan kepentingan pribadi para elit.
Sebagai masyarakat, kita perlu memastikan bahwa keputusan yang diambil benar-benar bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan bukan sekadar untuk mengakomodasi kepentingan politik kelompok tertentu. Pemekaran wilayah seharusnya bukan hanya sekadar soal administrasi, tetapi soal bagaimana menciptakan sistem pemerintahan yang lebih efisien, adil, dan berpihak pada rakyat.





