Pro Kontra SE Menag, Begini Sikap Organisasi Kemahasiswaan di NTB

oleh -2359 Dilihat
Pengeras Suara / Ilustrasi

LOMBOK – Dengan telah terbitnya Surat Edaran (SE) Menteri Agama (Menag) RI, Yaqut Cholil Qoumas jelang bulan Suci Ramadan 2024 disorot banyak pihak. SE itu melarang penggunaan pengeras suara atau speker luar masjid saat salat tarawih dan tadarusan Alquran.

Pro kontra pun bermunculan di daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Demikian juga dari kalangan organisasi kemahasiswaan.

Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Negeri Mataram (Unram) Herianto buka suara. Dia melihat kearifan lokal sangat perlu diperhatikan di tengah terbitnya SE Menag.

“Saya Ketua BEM Unram melihat tidak terlalu kaku SE itu, masyarakat bisa menerapkan dan bisa tidak diterapkan. Tapi kearifan lokal sangat penting dan perlu diperhatikan,” tegasnya saat dikonfirmasi jurnalis Koranlombok.id, Jumat (8/3/2024).

Disampaikan Herianto, dalam SE itu dirinya membaca tidak ada penekanan keras. Namun yang menjadi persoalan dalam SE ini kehadirannya terlalu cepat sehingga muncul respons masyarakat tidak baik melihatnya.

“Intinya kami ngikut bagaimana kesepakatan para ulama saja,” ungkapnya.

Baca Juga  Warga Dihebohkan dengan Penemuan Mayat di Pantai Kertasari

Herianto menyampaikan, SE penggunaan pengeras suara di masjid dan rumah ibadah muncul tanggapan banyak pihak mengingat dikeluarkan jelang masuknya bulan Ramadan. Sementara biasanya umat Muslim selalu memeriahkan Ramadan dengan suara salat tarawih dan tadarusan menggunakan pengeras suara luar masjid.

“Saya melihat berita dan baca mungkin Menag ada dasar kuat mengeluarkan SE, bahkan dalam statement pihak MUI pusat malah memberikan apresiasi SE karena menjadi keputusan ijtimaq ulama dan kesepakatan bersama di tingkat ulama,” katanya.

Dirinya yakin, sebelum SE terbit kementerian agama telah melakukan pembahasan dengan seluruh tokoh bahkan tokoh lintas agama. Sedangkan tujuan dari SE ini menurut dia, agar masyarakat di Indonesia tentram dan damai.

“Tapi harus dilihat bahwa masyarakat Indonesia tidak cepat menerima, apalagi keluar jelang bulan Ramadan,” singgungnya.

Disamping itu, SE Menag nomor 1 tahun 2024 tentang Panduan Penyelenggaraan Ibadah Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri diterbitkan 26 Februari 2024.

Baca Juga  Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Turun ke NTB, Ada Apa?

 

 

Sementara itu, Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Kota Mataram Lalu Aldiara Elang Sakti dengan tegas menilai SE Menag kurang tepat. Apalagi jika ini diberlakukan di semua daerah. Karena menurut Elang, masing-masing daerah punya ciri khas dalam menyambut bulan Ramadan.

“Dan kalau dilihat di daerah yang mayoritas muslim tidak akan jadi masalah dan menggangu dengan pengeras suara saat tarawih dan tadarus, justru masyarakat akan merasa lebih mendapatkan nuansa Ramadan dengan lantunan-lantunan ayat suci Alquran yang didengar dari masjid,” tegasnya kepada Koranlombok.id.

Elang menerangkan, SE Menag tentang pengeras suara perlu ditinjau kembali, kalaupun tujuan dari SE dalam rangka menghargai agama lain dan toleransi beragama itu dapat di atur di daerah tertentu.

“Jadi bukan secara keseluruhan di semua daerah,” katanya.

 

Terpisah, Ketum DPW Forum Alumni Badan Eksekutif Mahasiswa (Fabem) NTB Habibi menegaskan, regulasi ini harus didudukkan dalam kerangka aturan umum. Namun, dalam implementasinya aturan ini harus memperhatkan kearifan lokal, tidak bisa digeneralisir.

Baca Juga  Jokowi Beserta Sejumlah Menteri Akan Datang Saksikan MotoGP Mandalika

 

“Contohnya jika disuatu daerah terbiasa dengan tata cara yang sudah disepakati bersama, dan itu diterima secara umum maka itu bisa dijadikan pijakan,” tegasnya dalam pernyataan sikap.

“Jadi penerapannya tidak kaku,” sambung Habib.

 

Ditegaskan dia, jika terdapat non muslim yang terganggu dengan suara azan, maka itu bisa diatasi dengan menurunkan volume alat pengeras suara namun dengan mempertimbangkan kewajaran, seperti di tempat yang mayoritas non muslim atau di tempat yang harus jauh dari suara keras.

“Terutama saat-saat tertentu seperti bulan Ramadan,” katanya.

Menurut Habib, khusus bulan Ramadan harusnya diberikan kelonggaran, seperti saat tarahim boleh durasi panjang menggunakan speker luar. Sementara saat azan, iqamat dan salawat harus pengeras suara dalam.

“Tapi kalau salat tarawih apalagi yang sudah 11 rakaat itu keluar suara speaker karena juga biar bisa orang-orang yang tadinya belum tarawih langsung buru-buru,” tuturnya.(srf)

Tentang Penulis: Redaksi Koranlombok

Gambar Gravatar
Koranlombok media online dari Provinsi Nusa Tenggara Barat. Koranlombok selalu menayangkan berita Penting, Unik dan Menarik untuk dibaca.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.