LOMBOK – Seorang wanita bernama Inaq Sitah berusia 50 tahun warga Dusun Toro, Desa Pejanggik, Kecamatan Praya Tengah ditetapkan sebagai tersangka atas kasus penggelapan emas seberat 47 gram dan uang Rp 43 juta.
Inaq Sitah dilaporkan oleh adik kandungnya bernama Sri Tahni. Selain itu pelapor juga menuntut ganti rugi uang sebesar Rp 112 juta.
Kepada media, Inaq Sitah mengaku tidak mengetahui pasti apa dasarnya ia dipanggil penyidik Polres Lombok Tengah. Padahal dirinya telah mengasuh anak adiknya Sri selama 8 tahun semenjak ditinggal merantau ke Malaysia. Selanjutnya, uang dan emas yang dititipkan kepada dirinya telah digunakan untuk membiayai anaknya selama ini.
“Saya dilaporkan penggelapan dan penipuan, uang yang dikirim ada Rp 33 juta dan emas ada 11 gram. Padahal saya gunakan untuk biayakan anaknya sekolah dan ngaji dari umur masih bayi sampai sekarang kelas 3 SD selama 8 tahun,” ungkapnya di halaman Polres Lombok Tengah, Selasa (22/4/2025).
Ceritanya, begitu Sri pulang ke Lombok ia kemudian diminta mengembalikan uang dan emas yang dahulu telah dititipkan. Selain itu si kakak juga mengaku menjadi korban penganiayaan diduga dilakukan oleh adiknya usai terlibat cek-cok belum lama ini.
“Bertengkar dulu saya dipukul. Dia (pelapor, red) bilang mana uang dan emas saya tapi, saya jawab kan sudah untuk biayakan anakmu dan langsung dia (pelapor, red) melempar anaknya menggunakan HP,” ucapnya.
Di tempat yang sama, kuasa Hukum Inaq Sitah, Apriadi Abdi Negara menambahkan pelapor menitipkan anaknya kepada Sitah pada tahun 2017, sementara itu pelapor mengirimkan uang pada tahun 2019 untuk biaya asuh termasuk untuk menggantikan utang pelapor kepada orang lain melalui Sitah.
“Pertama 11 juta dan sudah ditunjukan oleh penyidik dan diakui, kemudian ada klaim lain tapi kita tidak tau karena tidak ditunjukan. Kita sudah serahkan rekening koran agar disandingkan dengan bukti yang ditunjukan oleh penyidik,” bebernya.
Kata Apriadi, uang yang dititipkan tersebut murni digunakan korban untuk membiaya anak pelapor dari usia 1,5 tahun sampai kelas 3 SD. Sementara sebelumnya tidak ada akad atau perjanjian secara tertulis karena kliennya merupakan orang awam, bahkan pelapor pernah menjanjikan uang upah pengasuhan sebesar Rp 2 juta setiap bulannya kepada Inaq Sitah.
Sementara itu klaim dari pelapor bahwa ada transfer setiap bulan kepada Inaq Sitah namun faktanya tidak ada dan hanya sekali pada tahun 2019.
“Dari 2019 sampai tahun 2024 tidak ada kabar pas pulang minta uang, minta emas dan mengambil anaknya dan juga melakukan penganiayaan dan sumpah serapah,” tegasnya.
Apriadi meminta agar penyidik juga melakukan check lewat rekening yang digunakan tersebut di Malaysia, karena bisa saja pelapor menggunakan bukti transfer atau kwitansi palsu mengingat uang yang dikirimkan pelapor kepada Inaq Sitah melalui rekening orang lain.
“Seharusnya dicek dulu di Malaysia faktanya jangan sampai bukti palsu sehingga ini saya harap akan ada gelar perkara khusus dan penangannya ditarik ke Polda,” pintanya.
Dalam kasus ini, kurang lebih akan ada 50 advokat yang akan ikut membela Inaq Sitah dan dirinya juga akan meminta bantuan ke lembaga lainnya seperti, Komnas Perlindungan Perempuan dan Anak.
“Karena pertama ibu ini perempuan masyarakat yang lemah apalagi ibu ini orang awam dan murni hanya mengasuh anak pelapor, kemudian supaya proses penegakan hukum ini harus berkeadilan dan transparan,” tegasnya lagi.(nis)