LOMBOK – Kasus perkawinan anak di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) urutan kedua tingkat nasional terbanyak. Parahnya lagi, sehari menurut data Save the Children Indonesia (SCI) satu sampai dua anak dinikahkan selama 12 bulan terakhir.
Peneliti utama Save the Children Indonesia, Dian Aryani mengungkapkan adanya kecenderungan pada peningkatan jumlah perkawinan anak di NTB. Berdasarkan data dispensasi perkawinan dari Kementerian Agama NTB tahun 2019, terdapat sebanyak 311 permohonan dan d 2020 sebanyak 83 permohonan terdapat kenaikan 492 permohonan dispensasi perkawinan.
Dijelaskannya, dari data ini menunjukkan penambahan. Namun, angka ini belum secara keseluruhan dari data yang tidak diketahui pernikahan tidak terdata. Hal ini disampaikan Dian Aryani dalam diskusi dalam rangka desiminasi laporan penelitian kualitatif terkait perkawinan anak, pernikahan dini, serta kawin paksa di kantor Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan keluarga Berencana (DP3AP2KB) NTB.
“Angka ini pun belum termasuk praktek pernikahan yang diselenggarakan oleh penghulu kampung yang tidak terdata dengan baik,” ungkap Dian, Jumat (27/1/2023).
Dijelaskannya, dalam penelitian kualitatif Save the Children Indonesia terkait perkawinan anak, pernikahan dini dan kawin paksa ini dilakukan empat lokasi di NTB. Diantaranya, Lombok Barat, Lombok Utara, Lombok Timur dan Lombok Tengah.
Adapun hasilnya, sebanyak 38 persen dari 492 permohonan dispensasi perkawinan merupakan komplikasi data dari 3 kabupaten yaitu Lombok Utara, Lombok Tengah dan Lombok Timur dengan angka tertinggi berada di Lombok Tengah.
Dian Aryani menyampaikan, pemaksaan perkawinan pada anak adalah salah satu bentuk kekerasan dan pelanggaran hak anak. Kasus perkawinan anak di NTB ibarat gunung estimat data yang tampak di permukaan didasarkan pada permohonan dispensasi kawin sedangkan data nikah siri dan perkawinan di bawah tangan tidak ditemukan.
Disebutkan Dian, perkawinan anak sangat berdampak negatif bagi tumbuh kembang anak baik seperti pendidikan, kesehatan, dan ekonomi yang tentunya akan berujung pada munculnya kemiskinan baru atau kemiskinan struktural. Tidak hanya itu kasus kekerasan dalam rumah tangga juga marak terjadi pada pasangan muda yang baru menikah di usia anak dan tidak sedikit dampak buruk dalam berbagai kasus adalah meninggal dunia.
Dalam studi kualitatif Save the Children Indonesia juga menjabarkan secara detail terkait norma sosial yang diskriminatif, adat merarik sasak yang patriarki. Praktek pembiaran dari orang dewasa, interpretasi keyakinan yang subjektif, kurangnya komunikasi positif antara orang tua dan anak terkait bergaul dan berperilaku sampai dengan ketidaksetaraan gender dan ketimpangan dalam gender terutama pada anak dan perempuan, hal itu menjadi temuan kunci penelitian dari save the Children Indonesia.
Sementara dari sisi hukum dan kebijakan berbagai terobosan sudah banyak dilakukan oleh pemerintah di NTB. Adapun payung hukum yang ada di NTB terkait pernikahan dini dan kekerasa adalah peraturan daerah nomor 5 tahun 2021 tentang pencegahan perkawinan anak.
Namun, kebijakan dan aturan di tingkat provinsi saja dirasa tidak cukup untuk menjawab persoalan perkawinan anak perlu adanya upaya terintegrasi bersama tokoh adat dan tokoh agama serta adanya pendampingan dan pemberian.
Ditambahkannya, peneliti muda yang terdiri dari perwakilan forum anak juga menyampaikan rekomendasi penting untuk segera ditindaklanjuti, adapun diantaranya berupa program dialoh dan edukasi lintas generasi, memperbanyak pesan media dan edukasi pencegahan perkawinan anak kemudian dan mempromosikan kesetaraan gender melalui jurnalisme warga anak dengan memanfaatkan media sosial atau saluran TV lokal. Memperkuat kegiatan forum anak, mengembangkan sistem lapor bagi kasus-kasus pelanggaran hak anak serta melibatkan partisipasi anak dalam disabilitas kelompok disabilitas dan perempuan dalam perencanaan pembangunan juga menjadi faktor penting.
Sementara, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan keluarga Berencana (DP3AP2KB) NTB, Wismaningsih Drajadilah mengakui, bahwa kasus pernikahan anak di NTB sangat tinggi.
Wismaningsih mengatakan, bahwa adaru data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan nak (PPPRI) menyebutkan kasus perkawinan anak di NTB nomor dua tertinggi di Indonesia di tahun 2022.
Dengan presentase 16,59 persen menjadikan NTB provinsi tertinggi kedua setelah Sulawesi Barat di posisi pertama dengan 17,71 persen dan posisi ketiga Sulawesi Tengah dengan 15,47 persen.
“Kami sendiri merasa prihatin dengan tingginya kondisi perkawinan anak di NTB,” katanya.(rif)