LOMBOK – Kasus pernikahan dini alias menikah di bawah umur tinggi terjadi di Lombok Tengah. Kondisi ini mendapat perhatian anggota DPRD Lombok Tengah, Yasir Amrillah.
Dikatakan Yasir, dengan tingginya angka pernikahan dini di Gumi Tastura masih belum menjadi bahasan dalam Ranperda yang diajukan sebagai perubahan Perda Nomor 3 Tahun 2009 tentang perlindungan anak dan perempuan korban kekerasan yang masih digodok di Komisi IV.
“Belum sejauh itu, karena pemerintah selalu menaikan usia pernikahan dari dahulu 17 tahun menjadi 19 tahun. Mungkin nanti bisa kita atur agar bukan di umur sekolah mereka menikah,” katanya kepada koranlombok.id, Sabtu (25/5/2024).
Yasir menyampaikan, saat ini pemerintah menetapkan usia pernikahan bagi pria dan wanita minimal berumur 19 tahun sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016, sementara itu bagi yang masih di bawah umur harus mengajukan permohonan dispensasi menikah, namun prakteknya di lapangan banyak anak-anak yang dinikahkan di bawah tangan secara siri.
Mantan Kades Bunut Baok ini menyebutkan, menghadapi masyarakat seperti ini memang dilema, karena kerap kali ada beban moral yang ditanggung karena menurut agama setelah akil balig wanita ataupun pria sudah dianggap boleh untuk menikah kendati masih terhitung remaja.
Sementara itu menurut dia, perlu penegakan hukum yang kuat oleh Pemkab, jika nanti Perda mengatur hal tersebut jangan sampai justru memunculkan permasalahan sosial baru di tengah masyarakat.
“Perda itu kan yang menegakan Pol PP, nah sekarang mampu tidak mengatur orang supaya jangan menikah sebelum umur 19 tahun. Kan masih sulit juga,” terangnya.
Katanya, para wanita yang terlanjur menjalani pernikahan di usia dini kerap kali mengalami kekerasan dalam hubungan rumah tangga, hal ini diperparah karena menikah secara siri tidak bisa mengajukan permohonan perceraian yang sah menurut hukum Negara melalui pengadilan. Terkait ini, dimana hal serupa juga banyak dialami oleh laki-laki, sehingga kajian kesetaran gender harus dimasukkan dalam Ranperda yang akan dibahas.
Sementara itu, Kepala UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Lombok Tengah, Baiq Indria Purnawati mengatakan dari awal tahun ini baru empat pasangan yang mengajukan permohonan dispensasi menikah.
Kata Indri, pihaknya melakukan asessment dari sisi mental dan lainnya terhadap pasangan yang mengajukan permohonan, untuk nantinya sebagai bahan bagi Pengadilan Agama memutuskan layak atau tidaknya melanjutkan pernikahan.
Biasanya pihaknya menangani kasus pernikahan yang terlapor dan tertolak di KUA, sementara itu permintaan dispensasi menikah tersebar di semua wilayah Lombok Tengah yakni, Kecamatan Praya, Pujut, dan Jonggat.
“Saya berdoa mudahan tidak banyak yang mengajukan permohonan,” ucapnya.
Indri menambahkan, biasanya Kadus melaporkan ke UPT karena paham pernikahan anak merupakan perbuatan melanggar hukum, sementara itu untuk layanan konseling yang dilakukan oleh pihaknya tidak dipungut biaya termasuk untuk pengajuan dispensasi menikah.
“Memang tugas pelayanan, jadi tidak dan beban biaya apapun,” tegasnya.(nis)