LOMBOK – Perang topat merupakan simbol kerukunan antara umat Islam dan Hindu di tanah Lombok. Tepatnya di Taman Lingsar, Desa Lingsar, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, NTB. Di sana setahun sekali warga dari dua suku ini dipertemukan dalam sebuah tradisi Perang Topat namanya. Tahun 2024, puncak Perang Topat digelar 15 Desember.
Penentuan Perang Topat tidak asal, puncaknya ditandai dengan bergugurnya daun waru atau rarak kembang waru. Perang Topat selalu dilaksanakan sore hari atau selesai Salat Asar.
Sebelum puncak Perang Topat, dua etnis ini menggelar ritual dengan cara dan keyakinan mereka masing-masing. Umat Hindu dipusatkan di Pura Lingsar dan umat Muslim di Kemaliq namanya. Di tempat suci itu proses ritual mereka laksanakan, akan tetapi umat Hindu selalu melanjutkan proses ritual di Kemaliq. Di sana dua kelompok agama ini dipertemukan dalam kondisi suci.
Kenapa ada ritual sembelih hewan kerbau?
Hewan kerbau dipilih oleh kedua kelompok agama ini karena dibolehkan menurut agama mereka. Sementara sapi bagi umat Hindu sesuatu yang tabu. Sebab, sapi dianggap menjadi sumber kehidupan manusia. Demikian juga babi, bagi umat Muslim haram.
Ritual menyembelih hewan kerbau diawali dengan mengarak kerbau dengan menggelilingi Pura Lingsar. Cara ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada kedua umat beragama.
“Hewan kerbau ini kita beli dari hasil sumbangan penziarah, ada juga tambahan dari masyarakat yang ingin bersedakah,” kata Arman Hadi pengelola Kemaliq Lingsar kepada media Minggu, (17/11/2024).
Dikatakan dia, selain sembelih hewan kerbau ada juga ritual pembersihan diri, botol momot (botol diam, red) dimana botol kosong ini nanti akan ditaruh di satu tempat sekitar Kemaliq Lingsar. Ajaibnya, botol ini tiba-tiba berisi air. Sementara air di dalam botol itu akan direbut warga karena diyakini bisa menyembuhkan segala macam penyakit, memberikan kemakmuran pada lahan pertanian, dan bisa mempercepat datangnya jodoh.
“Mau musim kemarau atau hujan botol-botol momot ini akan tiba-tiba berisi air. Jadi kalau kami sudah sangat yakin soal itu, dan ini juga bisa menandakan panen tahun ini akan berlangsung baik,” yakinnya.
Ditambahkan Arman Hadi, ada lagi upacara sakral Pujawali namanya. Ritual ini dilaksanakan oleh umat Hindu. Sementara umat Muslim melaksanakan zikir dan doa pada malam hari sebagai bentuk rasa syukur kapada Allah SWT.
“Kita di situ menyatu tapi tidak satu,” tuturnya.
Ditambahkan Jamhur Hakim Juru Pelihara (Jupel) Kemaliq Lingsar, untuk kaum wanita yang mendominasi baik dari umat Hindu bahkan Muslim membuat ketupat mini yang akan digunakan pada sesaji dan Perang Topat. Di luar ketupat untuk ritual, masyarakat bebas membuat sebanyak-banyaknya karena ini sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang melimpah.
Kata Jamhur, selama tradisi Perang Topat dilaksanakan tidak pernah terjadi hal-hal diinginkan. Karena perang ini murni sebagai bentuk atau simbol perdamaian suku Sasak dan Bali di Lombok.
Warga di Lingsar kata dia, malah merasa khawatir jika Perang Topat ini tidak digelar. Khawatirnya akan datang musibah sehingga bagaimana pun kondisi Perang Topat tetap dilaksanakan.
Pada kondisi gempa bumi mengguncang Lombok bahkan NTB tahun 2018 silam, Perang Topat tetap digelar masyarakat. Begitu juga pada saat pandemi covid-19. Masyarakat berkomunikasi dengan pihak kepolisian dan pemerintah daerah.
“Alhamdulillah tidak pernah tidak kami gelar ritual ini. Kami tidak tau apa yang terjadi kalau kami tidak gelar,” tuturnya.
Sementara ketupat yang digunakan perang diyakini masyarakat membawa berkah. Bahkan pengunjung berebutan bisa kenak lempar ketupat saat perang berlangsung. Mereka biasanya membawa pulang ketupat digunakan perang dan digantung di lahan pertanian agar hasil melimpah, jualan laris manis hingga diyakini bisa segera mendatangkan jodoh.
“Kalau ada yang mau nambah istri lagi juga bisa,” sahut Kades Lingsar Sahyan yang ditemui lokasi yang sama di Taman Lingsar.
Kenapa ada Perang Topat?
Diceritakan Jamhur Hakim Jupel Kemaliq Lingsar, pada abad ke-15 Raden Mas Sumilir yang bergelar Syeikh Abdul Malik datang ke Lombok untuk menyebarkan ajaran Islam. Pada saat itu, kawasan tersebut masih berupa tanah yang tandus dan gersang. Syeikh Abdul Malik pun berdoa. Hingga di satu sore dia menancapkan tongkat di kaki bukit. Lalu dari tempat penancapan tersebut keluar mata air yang deras.
Dalam Bahasa Sasak, mata air itu disebut Lingsar, berasal dari kata ling yang berarti suara dan sar yang berarti air. Kemunculan mata air tersebut pun menjadikan kawasan di sekitarnya perlahan mulai berubah menjadi daerah yang subur dan membawa kemakmuran bagi para penduduk.(red)