LOMBOK – Badan Kehormatan (BK) DPRD Lombok Tengah diminta melakukan studi banding ke daerah tempat pernah ditemukan, oknum anggota dewan dililit kasus narkoba.
Permintaan ini langsung dari Ketua DPRD Lombok Tengah, M. Tauhid dalam rangka menyikapi kasus narkoba yang menyeret, Riyan Ferdiansyah anggota dewan dari Partai Berkarya.
“Sebelumnya tidak pernah ada kasus seperti ini. Makanya saya minta BK studi banding ke daerah yang pernah ada kasus seperti kita ini,” tegasnya di hadapan media, Selasa (4/7/2023).
Dijelaskan politisi Gerindra ini, saat ini BK masih bekerja. Setelah itu baru dirinya akan mendengarkan hasil kejian BK sebagai Alat Kelengkapan Dewan (AKD).
“Dalam kasus ini saya tidak berani berspekulasi, kita tunggu saja hasil kerja BK,” katanya.
Ditegaskan dia, bahwa sampai detik ini tidak ada selembarpun surat dari Partai Berkarya masuk ke pimpinan dewan.
“Tidak ada itu,” jawabnya.
Biasanya dalam aturan, bagi anggota dewan yang memiliki persoalan akan diberikan sanksi berupa peringatan dan peringatan keras atau dilakukan Pergantian Antar Waktu (PAW).
“Nanti kami pimpinan akan berikan teguran atau apa. Kita tunggu saja,” tuturnya.
Belum lama ini, Polres Lombok Tengah memutuskan merehabilitasi anggota DPRD, Riyan Ferdiansyah yang terciduk menggunakan sabu, Jumat (26/5/2023) di Waker, Desa Puyung, Kecamatan Jonggat. Dimana sikap polisi ini justru jadi sorotan banyak pihak.
Aktivis senior NTB, Lalu Tajir Syahroni. Ia mengingatkan polisi agar jangan diskriminatif terhadap tersangka penyalahgunaan narkoba. Tajir kemudian membandingkan, biasanya jika warga kalangan biasa tersangka dituntut dengan ancaman hukuman berat. Tapi aneh ketika oknum pejabat dan orang kaya malah ujung-ujungnya direhabilitasi.
“Harusnya kalau pejabat apalagi anggota dewan dan orang berpengaruh seharusnya dihukum lebih berat karena bisa berdampak luas ke warga,” katanya tegas kepada jurnalis Koranlombok.id, Minggu malam (11/6/2023).
Tajir menambahkan, kalau tersangka adalah warga biasa hanya berpengaruh kepada dirinya dan keluarga. Beda halnya dengan pejabat negara bisa menginspirasi banyak orang dan masyarakat luas.
“Ingat, setiap perlakuan diskriminatif oleh APH harus dicurigai, karena dalam sikap diskriminatif terdapat peluang permainan dan beraroma suap,” sebutnya.
Dalam kasus ini kata Tajir, polisi harus bersikap tegas terhadap anggota dewan yang terciduk narkoba. Mestinya polisi mengembangkan kasus ini lebih jauh. Jika oknum dewan ini dinyatakan sebagai pengguna maka tentu dapat didetailkan tentang membeli atau mendapatkan barang tersebut dari siapa?
“Supaya bisa mengungkap siapa penjual atau pengedarnya, kemudian siapa bandarnya baik bandar kecil bahkan mungkin bisa menangkap bandar besarnya,” sentilnya.
Tajir menuturkan, harusnya dengan adanya salah satu oknum anggota dewan yang terciduk narkoba, polisi bisa mendeteksi kemungkinan ada anggota dewan lain yang berbuat sama.
“Maka tes urine bahkan tes rambut bisa menjadi langkah polisi dan BNN dalam menunjukkan keseriusannya dalam menjalankan tugas untuk memberantas kejahatan yang termasuk extra ordinary crime ini,” kata Tajir.
Sebelumnya, Kasat Narkoba Polres Lombok Tengah IPTU Derpin Hutabarat mengatakan, keputusan tersangka menjalani rehabilitasi berdasarkan pendalaman dan sesuai dengan hasil asesmen Badan Narkotika Nasional (BNN) NTB. Ini juga sesuai keputusan bersama Mahkamah Agung, Kemenkumham, Kejaksaan Agung, Polri, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, dan Badan Narkotika Nasional, penyalahguna harus direhab.
Derpin mengungkapkan BNN menyarankan rehabilitasi terhadap oknum anggota DPRD bersama dua rekannya tersebut. Mereka bukan jaringan narkoba sehingga harus direhabilitasi di rumah sakit naungan pemerintah.
“Atas keputusan rehabilitasi, penyelesaian kasus dapat dilakukan melalui mekanisme restorative justice tanpa jalur persidangan,” kata Derpin, Sabtu (10/6/2023).
Sementara kini ketiga korban telah pihaknya bawa ke RSJ Mataram, Senin (5/6/2023). Sementara ia belum bisa memastikan berapa lama mereka direhabilitasi. Karena ini kewenangan pihak rumah sakit.(nis/dik)